Program Studi Biologi dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Cenderawasih Jayapura menyelenggarakan Konferensi Biologi Internasional I di Jayapura, 19 – 20 Oktober 2019. Konferensi bertajuk “Keanekargaman Hayati, Kearifan Lokal, dan Pembangunan Berkelanjutan di Era Digital” itu diikuti sejumlah akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan luar negeri, serta sejumlah perwakilan lembaga pemerintah.

Ketua panitia penyelenggara konferensi itu, Lisye Iriana Zebua menyatakan konferensi itu mempresentasikan sejumlah riset terbaru para ahli biologi dari dalam dan luar negeri. Konferensi itu juga diselenggarakan untuk menyosialisasikan sejumlah hasil riset Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Cendrawasih (FMIPA Uncen) Jayapura.

Zebua mengatakan Program Studi Biologi FMIPA Uncen memiliki banyak penelitian yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati Tanah Papua. Hasil penelitian Program Studi Biologi FMIPA Uncen berupaya menonjolkan perspektif kearifan lokal masyarakat adat di Tanah Papua, agar bisa menjadi bahan pembelajaran secara internasional.

“Kami sengaja memilih tema “Keanekargaman Hayati, Kearifan Lokal, dan Pembangunan Berkelanjutan di Era Digital”. Tema itu dipilih agar keanekaragaman hayati yang ada di belahan dunia manapun bisa diketahui [publik],” kata Lisye Iriana Zebua kepada Jubi pada Sabtu.

Zebua menyatakan perkembangan teknologi digital menjadi sub-tema konferensi, karena telah mengubah pola penyebarluasan informasi penelitian biologi di seluruh belahan dunia. “[Sekarang ini], semua serba internet. Kita sudah memasuki ke era 4.0. Semua [jenis] informasi, termasuk [informasi] keanekaragaman hayati atau kearifan lokal, [bisa] diakses  di mana pun. [Berbagai informasi itu] bisa digunakan sebagai bahan pendidikan banyak lembaga di Tanah Papua maupun di dunia internasional,” katanya.

Pembantu Rektor II Uncen, Fredrik Sokoy mengatakan, Papua memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan sebagian besar terjaga karena dikelola oleh masyarakat adat. Menurutnya, masyarakat adat memiliki kearifan lokal yang mampu menjaga kelestarian keanekaragaman hayati Tanah Papua.

“Hampir seluruh keanekaragaman hayati [di Tanah Papua] dikelola oleh masyarakat adat itu sendiri. [Di pihak lain], kita sedang memasuki era industri 4.0. Kita butuh semacam model [penggunaan teknologi digital dalam menghimpun dan] menunjang keanekaragaman hayati yang [dijaga] kearifan lokal masyarakat adat,” katanya.

Fredrik Sokoy mengatakan kearifan lokal masyarakat adat itu dapat dihimpun menjadi abstraksi informasi berharga. “[Dengan demikian], meski kita berada di era Industri 4.0, [kearifan lokal tentang] keanekaragaman hayati bisa dikenal hingga di luar negeri. Seminar ini upaya untuk memperkenalkan keanekaragaman hayati Papua ke luar daerah. Seminar ini juga bisa dijadikan bahan ajar universitas di dalam dan luar negeri,” kata Sokoy usai membuka konferensi itu.

Salah satu pemateri, Alex Waisimon mempresentasikan penelitian Komunitas Berbasis Ekotourism Desa Nimbokrang di Kabupaten Jayapura. Penelitian itu menghimpun bahan riset biologi yang berbasis kepada kearifan lokal masyarakat adat, termasuk dalam pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat.

Waisimon menyatakan hasil hutan kawasan konservasi seperti hutan lindung tidak boleh ditebang/dimanfaatkan sembarangan. Dalam presentasinya, Waisimon mengatakan hutan lindung di Nimbokran menjadi proyek percontohan bagi masyarkat adat di Tanah Papua.

“Ke depan, saya berharap Nimbokrang menjadi contoh bagi anak-anak adat [untuk] mengembangkan dirinya dan  mengelola hutan. Hutan di Papua tidak bisa dikelola berdasarkan contoh di luar, tapi harus ditangani oleh anak-anak Papua itu sendiri,” katanya.

Selain menghadirkan hasil penelitian Alex Waisimon itu, konferensi juga mempresentasikan penelitian Marshal Suebu dari Prodi FMIPA Uncen dan Direktur Riset dan Pengabdian Kemenristekdikti, Prof Dr Ocky Karna Radjasa MSc Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi. Sejumlah hasil riset dari luar negeri juga dipresentasikan, termasuk penelitian Prof Michael A Riche (ahli perikanan dan budaya maritim dari Universitas Rhode Island, AS), Prof Michael Muhlandberg (ahli konservasi alam dari Universitas George-Agust, Jerman), Cherdchal Phosri (ahli mikrobiologi dari Universitas Nakhon Phanom, Thailand).(*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.